Surat untuk yang Tersayang
Untukmu yang tersayang. Ini adalah surat yang ku tujukan untukmu, tentang bagaimana perasaanku selama ini. Ini bukan surat permintaan maaf, karena aku mungkin sudah tak pantas mengucapkan maaf. Ini adalah surat kekecewaanku pada diriku, karena kembali membawa kita pada sebuah jembatan panjang bernama jarak.
-
Sayang, sudahkah kamu memikirkan lelahnya bersamaku?
-
Selamat malam, sayang. Tiba-tiba saja, aku ingin menulis sebuah surat untukmu dengan tulisan tanganku yang jelek ini. Entah akan terbaca atau tidak, tapi semoga pesannya terbaca oleh perasaanmu.
Sayang, aku ingin bertanya. Sudah berapa ribu kali kamu merasa lelah bersamaku? Bersama orang keras kepala, yang perasaannya tak akan pernah kamu tahu, karena aku sendiri tak tahu bagaimana perasaanku.
Sayang, aku ingin bertanya. Apakah ketika kamu mengucapkan kata perpisahan, itu benar keluar dari hatimu atau hanya dari bibirmu?
Sayang, aku ingin bertanya. Jika seandainya kita selesai di sini, apakah kamu tahu seberapa hancur hati dan perasaanku?
Ku rasa, pertanyaan terakhir terlalu egois, jadi tak perlu dijawab.
Sayang, ketika ku hitung-hitung, kita sudah hampir lima tahun bersama. Sejak pertama tahu namamu, sampai saat ini tahu warna matamu.
Lantas maksudnya apa?
Sudah lama kita bersama, tapi aku hanya mengenal nama. Aku hanya sebatas mengetahui namamu, namun tak tahu apa yang ada di kepala dan hatimu. Banyak perbedaan yang sulit untuk dicari titik temunya. Seperti puzzle yang tidak ada kecocokannya.
Kadang aku berpikir, puzzlemu tidak ada di dalam rangkaian puzzleku. Makanya kita tak bisa cocok. Mungkin ada di puzzle yang lain. Tapi, aku selalu berharap, puzzle yang lain itu juga milikku, jadi kamu akan tetap cocok untukku di potongan diriku yang lain.
Tapi, itu terlalu egois, bukan?
-
Sayang, jika saja aku diperkenankan bercerita kepada orang-orang, tentang siapa yang mengisi hidupku, memberikan senyum, memahat bahagia, mengucurkan sedih, dan melukiskan tawa, selain keluarga dan teman-temanku, aku akan menyebut namamu dengan percaya diri. Aku akan membuka Google Photo-ku, lalu ku ceritakan mulai dari fotomu saat banjir di Untirta Permai. Aku akan dongengkan mereka kisah yang indah, tapi akan kusembunyikan bagian sedihnya. Karena, aku merasa, bagian sedih itu adalah milik kita. Sesuatu yang mendewasakan kita.
-
Sayang, kamu tahu apa yang selalu aku pikirkan ketika kita sedang bertengkar?
"Aku akan menjadi orang paling menyesal ketika sudah melepasmu."
Aku sadari, aku tak pantas. Namun, kamu tahu kan tidak ada usaha yang sia-sia untuk mereka yang bersungguh-sungguh? Aku sungguh-sungguh.
Ah, kata-kataku mulai meracau. Seperti orang yang yakin kalau dirinya tak akan mati.
-
Sayang, saat ini aku merasakan kekosongan. Ketika aku bangun dari tidurku, aku duduk sejenak dan bertanya, "Masih belum berakhir, ya?"
Aku merindukan kita yang seperti biasanya. Namun, aku terlalu pengecut untuk memulai. Aku terlalu egois untuk meminta. Aku terlalu naif untuk mengatakan kejujuran.
-
Aku merasa, aku masih harus berusaha untukmu dan memperjuangkanmu. Tapi, sebelum itu, aku ingin kamu menjawab satu pertanyaan lagi.
"Apakah kamu ingin aku benar-benar menyerah untukkmu?"
Rumah, 30 Juli 2021
Jafirlana
Komentar
Posting Komentar