Perjalanan Terakhir: Akhir dari Sebuah Petualangan

Sebelum saya bercerita sedikit tentang perjalanan kali ini, saya ingin berterima kasih kepada kawan perjalanan saya, Satrio dan Angga Saputra. Tanpa mereka, perjalanan seru ini mungkin tidak akan seseru ini, atau mungkin tidak akan terjadi.

Dua kawan perjalanan yang tidak perlu diragukan lagi ketangguhannya. Mulai dari berangkat dengan sepeda motor. Menempuh jarak sekitar 600 KM, mereka masih bisa tertawa di antara kantuk saat mengendarai sepeda motor, masih bisa tersenyum setelah malam panjang di perjalanan yang melelahkan, masih mau menahan bool panas yang beradu dengan jok motor.


Sampai pada akhirnya waktu pulang, setelah menelan 1000 KM lebih, mereka masih mau tertawa di antara motor mogok saat tengah malam. Tak lupa juga kepada kawan perjalanan yang lain, Wahyu Saputra, Aziz Fauzi, Djilzaran Nurul, dan Bayu Suta. Terima kasih sudah bergabung, menampung, dan memeriahkan perjalanan ini. Serta orang-orang baik yang ditemui selama perjalanan.


-
Semua berawal dari Kota Solo. Setelah menyebutkan nama kota, akhirnya saya mengajak beberapa teman yang tidak menyebut saya "Gila" karena hendak pergi ke ujung Jawa Tengah dengan mengendarai sebuah motor. Muncullah Satrio dan Angga. Dengan tegas, mereka bersedia untuk bergabung dan siap menanggung risiko bersama.

Perjalanan dimulai dari kediaman Angga, Jakarta Barat, pada malam hari. Perjalanan sampai Kota Solo menempuh waktu sekitar 45 jam dengan melewati dua malam. Tidur di masjid, istirahat di pinggir jalan, dan pom bensin hampir selalu menjadi destinasi favorit yang tak pernah terlewatkan sepanjang perjalanan. Obrolan pun sudah sulit ditebak ke mana arahnya. Membicarakan apapun tanpa peduli waktu berputar dan membuat perjalanan semakin terasa panjang. Sampailah kami di Kota Solo.








Kota Solo ini dekat dengan sebuah gunung, yaitu Lawu. Awalnya tidak pernah terpikirkan untuk mendaki Gunung Lawu. Namun, setelah beberapa masukan, akhirnya memutuskan untuk mendaki sebuah gunung di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur; Lawu.


Perlu saya tegaskan, pendakian ini adalah pendakian terseru yang pernah saya jalani. Penuh tawa, suka cita, dan kegembiraan. Baru kali ini saya merasakan pendakian seseru ini. Pendakian selesai, namun catatan ceritanya hampir selalu berputar. Beberapa momen selalu dibahas di luasnya belantara kota.







Setelah Gunung Lawu selesai, kami berunding, akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi tempat yang memiliki pantai terindah di Jawa; Pacitan. Dengan tidak berlebihan, Pacitan mempunyai pantai terindah yang pernah saya kunjungi. Pantai pribadi, tempat sepi, dan menjadi warlok pada malam hari. Mencari bulu babi atau kerang yang akhirnya dimasak sendiri. Pacitan sulit dideskripsikan, harus diliat langsung oleh mata dan dirasakan sendiri pengalamannya.








Selesai perjalanan di Pacitan dan Solo.

Kami bertolak pulang dan mampir ke salah satu kota yang terkenal dengan mendoan; Banyumas, tepatnya di Purwokerto. Di sana kami disambut dengan kengapakan yang ramah. Dialek khas ngapak selalu membuat menggelitik. Bukan dalam konteks negatif. Namun, hal itu menjadi sesuatu yang unik untuk saya yang bukan dari daerah tersebut.


Salah satu bahasa yang ingin saya kuasai adalah bahasa Jawa. Kenapa? Menurut saya unik. Mungkin setiap bahasa itu unik, tapi ini soal pria punya selera.

Di Purwokerto, kami mengunjungi curug yang masuk dalam daerah Baturaden. Dapat saya katakan, ini adalah curug terbaik yang pernah saya kunjungi. Didukung dengan pengunjung yang sepi. Curug yang terawat, akses jalan mudah, dan yang paling penting; murah. Di sana juga saya merasakan Getuk goreng di tempat yang tidak terpikirkan oleh saya, yaitu di saung tempat petani baik berteduh. Pak Jito. Di saungnyalah saya menyeruput kopi dan mengunyah sebuah Getuk goreng di depan perapian. Rasanya lebih enak dari getuk lain yang belum pernah saya coba.









Genap 11 hari di perjalanan, kamu berpamitan untuk pulang. Saya kira, perjalanan pulang akan lebih cepat, karena kami mulai dari Purwokerto, bisa dibilang sudah ¼ jalan kalau dihitung dari Solo.

Namun, yang katanya perjalanan pulang lebih cepat dari perjalanan pergi, ternyata tidak terjadi di perjalanan pulang kami. Kami harus menahan kantuk karena kurang tidur, menghantam lubang pantura, sampai harus meludahi mobil yang berani menyalip lawan arah pada marka jalan sambung.

Ketika sudah melewati ¾ jalan untuk sampai rumah, motor harus mogok, memaksa kami menunggu hingga enam jam. Dari pukul 20:00 hingga pukul 02:00 dini hari. Menunggu montir selesai memperbaiki motor hingga tidur di depan ruko yang sudah tutup dengan beralaskan jas hujan dan diselimuti nyamuk. Namun, hampir tidak ada keluh kesah yang berarti. Kami masih bisa tertawa di antara motor yang harus memakan biaya 600 ribu lebih untuk dapat digunakan kembali.



Setelah motor selesai, kami masih harus menempuh waktu tiga jam dari Cikampek menuju Cengkareng untuk sampai garis finish petualangan. Kami sampai di Jakarta berbarengan dengan azan Subuh. Itu juga yang menjadi tanda bahwa perjalanan sudah selesai. Tidur dengan nyaman walau hanya beberapa jam untuk menambah energi untuk pulang.

Tidak ada lagi tidur di masjid, makan empal gentong, isi bensin penuh, bongkar muat isi tas, hening hutan, gemericik air, angkringan, burjo, kopi pagi sore, nasi kerak, kantuk perjalanan, dan lain-lain.

Perjalanan ini juga menjadi akhir dari perjalanan saya. Menyudahi petualangan entah sampai kapan. Ada mimpi yang harus diwujudkan, ada orang tua yang harus dibahagiakan, ada orang yang menunggu di seberang jalan.

Perjalanan terakhir selesai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arunika Yumna Rinjani

[PMS] Perjalanan Menikahi Shabrina

Dari Ayah untuk Bapak