[Ruang Opini] Wisata Bencana - Erupsi Semeru

 

Tangkapan layar di atas cukup menunjukkan bagaimana masyarakat kita sulit memposisikan diri saat ada peristiwa duka di tanah air.

Pada tulisan ini, gua bukan mau bercerita tentang diri gua. Berharap suatu hari gua membaca tulisan ini, bahwa pernah ada kejadian memalukan ketika di suatu daerah yang mengalami bencana. Maaf, koreksi. Bukan pernah, tapi sering ada kejadian memalukan. Kenapa gua sebut memalukan? Karena hal ini sangat tidak pantas di lakukan oleh manusia jika tujuannya untuk eksistensi. Garis bawahi kata eksistensi.

Gua membuat rubrik berjudul Ruang Opini. Isinya adalah opini-opini gua tentang berbagai hal yang ingin gua tulis di blog ini. Opininya mungkin tidak selalu benar, tapi opininya adalah murni pandangan gua tentang hal tersebut.

Membahas tentang Wisata Bencana. Hal ini bukan sesuatu yang baru. Ketika terjadi bencana di suatu tempat, entah itu gempa bumi, longsor, tsunami, atau yang baru-baru ini terjadi, erupsi Gunung Semeru, hampir selalu ada orang-orang bodoh ini. Orang yang datang dengan tangan diangkat ke atas dengan kamera depan menyala, mengabadikan momen, mendeskripsikan kondisi setempat atau mengambil gambar dan mengunggahnya ke media sosial dengan keterangan yang berbagai macam bentuknya. Hal tadi dilakukan dengan tidak melihat situasi dan kondisi sekitar.

Memang bagaimana kondisinya? 

Kalo lu pernah dateng ke lokasi bencana, kalo lu masih punya hati nurani, kalo lu masih punya perasaan empati sama orang-orang yang kena bencana, gua rasa, ngeluarin hp aja bakal segen. Ini gua alami ketika akhir tahun 2018 sampai awal tahun 2019 ke lokasi tsunami di Banten. Rasanya hati sakit banget. Entah apa yang gua rasain saat itu, rasanya pilu banget.

Tapi, ada orang yang ujug-ujug dateng ke lokasi dan swafoto dengan kamera dan tersenyum atau tertawa dengan mengabari bahwa mereka ada di lokasi bencana entah untuk apa. Gua rasa, mereka juga merasakan sakit, tapi akal sehatnya yang sakit. Bagaimana bisa, mereka "berkunjung" dan tersenyum atau tertawa di atas penderitaan orang lain?

Kejadian ini bukan cuma sekali atau dua kali terjadi. Berkali-kali. Mungkin lu pernah baca berita tentang pengunjung wisata bencana malah kena bencana itu sendiri. Gua nggak menyalahkan, tapi mengutuk kejadian itu. Masyarakat yang kena bencana berbondong-bondong mengungsi. Eh, mereka berbondong-bondong dateng ke lokasi untuk alasan eksistensi.

Tolonglah. Mereka bisa mencari eksistensi dengan cara lain, kok. Banyak. Tapi tidak dengan datang ke lokasi bencana. Selain membahayakan nyawa, mereka juga menyakiti masyarakat yang terdampak.

Gua rasa, sudah banyak artikel yang memuat tentang wisata bencana ini. Tinggal bagaimana orang-orang mau membaca dan memahami. Manusia pasti punya akal, mendatangi lokasi bencana hanya akan menimbulkan bencana lain. Kecuali memang mereka yang bertugas untuk hal itu.

Atensi dan eksistensi mengubah cara pandang orang tentang suatu peristiwa. Bagaimana orang ingin mengabarkan pada dunia, bahwa merekalah orang-orang yang ada di tempat kejadian, mendeskripsikan kondisi sekitar bak reporter handal, padahal kosong.

Gua ambil contoh, semoga ini tidak terjadi. Misalnya Semeru ada erupsi kembali dan para "pengunjung" ini sedang berada di lokasi. Mereka akan lari paling kencang. Jika selamat, mereka akan memberitakan kepada orang-orang, bahwa mereka adalah orang yang beruntung. Padahal dari awal sudah bodoh. Jika tidak selamat...

Terlihat jahat memang. Tapi gua rasa, mereka lebih jahat.

Yaudah gitu aja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arunika Yumna Rinjani

[PMS] Perjalanan Menikahi Shabrina

Dari Ayah untuk Bapak