[Ruang Opini] Sarjana Anu, kok Kerja Anu?

"Sarjana anu, kok kerja anu?"
Begitulah kata utusan setan satu ini.

Harusnya kita sama-sama tahu, bahwa mencari pekerjaan di saat seperti ini cukup sulit. Lapangan kerja memang ada, tapi lowongan untuk fresh graduate apakah banyak? Oh, tentu banyak. Tapi, apakah lapangan kerja tersebut untuk semua jurusan? Belum tentu. Maka dari itu, berhenti berkata, "Sarjana anu, kok kerja anu?". Saat kata-kata itu terlontar dari mulut siapapun, percayalah, mulutnya mengeluarkan bau seperti sampah.

Dikutip dari Kompas, pengangguran di Indonesia tahun ini mencapai 9,1 juta. Ya, itu manusia, bukan uang. 9,1 juta orang mungkin sedang sibuk mencari pekerjaan. Dan pada tahun lalu, kurang lebih 80 % sarjana tidak bekerja linier dengan jurusan saat ia kuliah. Saya rasa, beberapa memang memiliki ketertarikan di luar bidang pendidikannya, beberapa lagi mungkin terpaksa untuk sesuap nasi yang bisa dimakan dan seteguk air yang bisa diminum.

Banyak orang-orang meluluhkan ego dan membuang jauh-jauh gengsinya untuk bekerja di tempat yang tidak ia kehendaki, untuk mengejar dan mewujudkan mimpi-mimpinya. Karena ia tahu, jika keukeuh ingin bekerja sesuai dengan jurusannya, mimpi-mimpi itu mungkin hanya akan jadi mimpi. Kalau pun terwujud, harus bermimpi lebih lama lagi hingga mimpi itu jadi kenyataan. Bersyukurlah mereka yang telah menyukai dan menjalani pekerjaan yang sesuai dengan jurusan saat mereka kuliah.

Baiklah, ada namanya proses. Tapi, seberapa lama akan berproses, sedangkan ada hal-hal yang mendesak di depan sana? Ada mimpi yang harus diwujudkan, ada orang tua yang harus kita ambil tulang punggungnya, atau mungkin ada orang lain yang menunggu kepastian. Rencana-rencana tersebut yang akhirnya memaksa kita untuk keluar dari proses yang kurang menjanjikan. "Proses tidak akan mengkhianati hasil". Ya, saya percaya kata-kata itu hingga akhirnya saya ada di tempat ini sekarang. 

Saya ambil contoh terdekat dengan kehidupan saya. Sarjana pendidikan. Sudah terbayang bagaimana runyamnya sistem pendidikan di Indonesia? Berapa banyak sarjana pendidikan yang akhirnya banting setir dan memilih pekerjaan lain dibandingkan guru? Karena guru honorer masih belum mensejahterakan para pelakunya. Tidak perlu saya jelaskan panjang lebar betapa sulitnya menjadi guru dengan honor yang minimum, sudah banyak berita yang memuat bagaimana kehebatan guru-guru di Indonesia yang masih mau mengajar dengan berpegang teguh pada "Pahlawan tanpa tanda jasa". Dari contoh tersebut, apa masih pantas keluar, "Sarjana anu, kok kerja anu?" dari mulut sampah itu?

Saya pernah berbincang dengan salah satu senior di jurusan, sebutlah X. X pernah merendahkan teman angkatan saya, Y, yang bekerja sebagai penjaga toko di salah satu toko outdoor di Tangerang. Saya sama sekali tidak menanggapi perkataannya. Saya mengalihkan topik pembicaraan ke arah lain. Saya langsung hilang respect kepada X. Saya rasa, X tidak berhak merendahkan pekerjaan Y. X tidak tahu apa yang ada di dalam rumah Y, tidak tahu perasaan orang-orang yang ada di dalam rumah Y, tidak tahu sebesar apa harapan orang tua Y kepada anaknya itu. Lalu X, tanpa dosa merendahkan pekerjaan yang mungkin saja keringat yang jatuh dari dahinya Y adalah keringat bahagia karena akhirnya bisa bekerja di saat yang sulit. 

Pertanyaan itu boleh saja terlontar, asal sang penanya mau memberikan lapangan kerja yang dapat memenuhi kebutuhan hidup dan dapat mewujudkan rencana-rencana yang telah dibuat oleh yang ditanya.

Saya mohon, berhentilah. Berhentilah menanyakan dan merendahkan pekerjaan orang lain, apapun pekerjaannya, apapun latar belakang pendidikannya. Banyak hal-hal yang akhirnya saya sadari saat ini, salah satunya adalah bersyukur dan berhenti mengeluh tentang profesi orang lain. Contohnya, ketika sore datang dan buruh pabrik berbondong-bondong keluar dari pabrik, lalu membuat jalanan terasa penuh dan macet. Berhentilah berkata, "Orang pabrik bikin macet aja kalo sore". Berhentilah. Karena dibalik perkataan itu, ada orang tua yang menunggu di rumah, atau istri yang berharap cemas di kamar, atau anaknya yang menunggu dibelikan mainan atau makanan ringan sepulang ayah atau ibunya dari pabrik tersebut. Berhentilah membawa profesi orang lain kepada beberapa hal yang kalian alami, kecuali koruptor dan pembohong.


Percayalah, di manapun kalian bekerja saat ini, pasti Allah sedang menyiapkan rencana terbaik, Tuhan akan selalu memberkati, Dewa-dewi juga sibuk mendengarkan dan mengabulkan permintaan umatnya. Semuanya sedang berjalan sesuai dengan skenario terbaik yang telah dibuat oleh-Nya.

Rujukan:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arunika Yumna Rinjani

[PMS] Perjalanan Menikahi Shabrina

Dari Ayah untuk Bapak