Ramadan dan Bersyukur
Selama gua hidup, gua telah berjumpa dan ikut meramaikan perhelatan Bulan Ramadan selama 19 kali.
Gua masih inget pertama kali gua ikut puasa. Waktu itu gua masih umur 5 tahun, SD kelas 1 di Bandung. Hari kesekian gua ikut puasa. Waktu siang, abis dzuhur, gua diajak temen sekelas gua buat ke rumahnya. Gua lupa namanya siapa. Rumahnya cukup mewah untuk ukuran rumah di kampung. Ada rumah yang luas, halaman luas, dan mobil sedan yang entah apa mereknya. Kita menyelinap ke samping rumah, berenti di sebuah gang yang bersebelahan sama jendela di rumah dia. Dia masuk ke rumah lewat jendela seperti maling, satu menit kemudian keluar sambil membawa sebotol marjan yang isinya udah disulap jadi air tawar dingin yang diambil dari lemari esnya. Kita jongkok di gang itu dan bergantian menenggak botol penuh dosa itu. Rasanya segar. Lebih segar daripada air wudhu yang gua minum saat hendak Salat Dzuhur beberapa hari kemudian.
Setelah itu, kita ke lapangan bola, meneduh di salah satu saung, dan berpura-pura lemas. Dasar iblis. Itu menjadi buka puasa sembunyi-sembunyi pertama dan terakhir yang unik. Seingat gua. Setelahnya, gua menjalani puasa yang cukup sungguh-sungguh. Memang beberapa kali gua pernah batal, tapi memang karena keadaan, bukan karena ikut campur setan dalam diri.
Bolong terbanyak ada di tahun kemarin, 2021. Pertengahan puasa, gua mengalami gejala tipes, libur puasa seminggu. Ada hal lucu di sela gua istirahat total saat itu. Gua masih dikejar-kejar buat ngerjain desain oleh petinggi kampus, padahal kerjaan utama gua di Untirta Press pun terbengkalai. Hal unik juga terjadi. Sehari sebelum gua jatuh sakit, gua membawa laptop gua buat di-service di service center resminya. Setelah laptop itu gua titipkan buat dicek dan dibenerin, besoknya gua sakit. Sehari sebelum gua sembuh, laptop itu diambil ibu dan bapak gua. Laptopnya ternyata gak bisa dibenerin, akhirnya dibawa pulang lagi. Besoknya gua sembuh dan membaik dengan cepat. Gua merasa, mungkin kesehatan gua ada di laptop gua. Karena kerjaan gua semuanya di situ. Kalaupun gua sehat, gua tetep gak bisa kerja maksimal karena laptop gua lagi gak ada, makanya sakit sekalian aja. Ya, apa pun itu, jadi rahasia Ilahi, yang pasti udah tertulis di Lauhul Mahfudz.
Ini puasa ke-19. Menjalani puasa di tempat kerja baru yang cukup menguras tenaga dan emosi di setiap harinya. Menjadi tantangan. Masih terus berdoa dan berusaha semaksimal yang gua bisa. Karena gua paham, Allah cukup mengetahui hambanya yang bersungguh-sungguh. Soal hasil, itu belakangan. Makanya gua menjalani apa yang ada di depan dengan tidak lupa menyusun rencana baik ke depan.
Perihal berdoa. Setiap ibadah, hal yang hampir tidak pernah lewat adalah doa gua untuk selalu bersyukur, menjadi lebih baik setiap harinya, dan doa untuk orang tua beserta keluarga dan teman dekat. Tidak menekankan pada banyak rezeki, kehidupan lancar, kesehatan, percintaan, karir. Udah kayak zodiak. Karena menurut gua, semua itu udah include di bersyukur. Apapun yang kita miliki sekarang, kalo kita gak bersyukur, kita akan jadi manusia yang gak pernah puas. Contoh, kita dikasih banyak uang, tapi dibarengi sama gaya hidup yang gak sebanding sama uang kita. Alhasil kita gak bersyukur, selalu merasa kekurangan. Contoh lain, kita lagi dikasih sakit, tapi malah ngeluh terus. Kita jadi lupa, kalo Allah ngasih sakit buat kita istirahat dari rutinitas yang mungkin bikin kita jadi sakit itu. Padahal, sakit yang dikasih -kalau kita ikhlas- itu bakal ngegugurin dosa kita. Kita jadi lupa untuk bersyukur pernah dikasih sehat. Dan banyaaaakk contoh-contoh lainnya soal bersyukur.
Setiap gua berdoa, gua berdoa untuk dikasih rasa bersyukur yang banyak sama Allah, supaya gua bisa menikmati semua pemberiannya dengan kecukupan, bukan dengan kekurangan yang sebenarnya bisa gua cukupkan.
Komentar
Posting Komentar