Catatan Perjalanan, Pulosari

Catatan Perjalanan

Pulosari, Februari 2017

“Malam identik dengan gelap, namun api beberapa kali menerangi malam.”

Gunung Banten? Pulosari? Aeseupan? Atau gunung Karang yang kaya akan mistis?

Kali ini gua bakal bercerita tentang pendakian kedua gua menuju puncak gunung di Indonesia, tsah. Gunung yang gua daki kali ini cukup dekat dengan kosan gua. Gua kos di sekitaran Serang, Banten. Kalo ada yang mau main-main ke gunung Banten, bisa mampir ke kosan, sekedar ngopi atau nanti bisa main ke pantai Anyer, hihiw.

Pendakian kedua ini tujuannya puncak Pulosari yang berketinggian 1346 MDPL. Namun jangan pernah kita meremehkan berapapun ketinggian gunung. Pada kenyataannya, gunung ini cukup menantang dengan pendakian malam.

Oiya, pendakian kedua ini ada 6 personil, 4 laki-laki dan 2 perempuan tangguh. Ini bakal jadi pelajaran banget buat kalian yang mau ngajak temen atau gebetan (perempuan), karena harus bertanggungjawab penuh untuk menjaganya.

Kita siap-siap di kosan, packing, beli logistik, dll. Setelah dirasa cukup, kita berangkat dengan 4 carrier yang dibawa oleh lekaki jantan (ayam kali), dan 2 tas unyu-unyu yang dibawa oleh perempuan betina.

Mengandalkan google maps, catatan perjalanan di google, dan salah satu personil yang pernah naik ke Pulosari, kita berangkat.

Kita mengikuti google maps dengan mengarahkan titiknya pada desa yang ‘katanya’ temen kita ini, namanya Bayu, itu desa lokasi basecamp Pulosari, dan amat disayangkan, kita malah nyasar jauh. Bagi kalian yang mau ke Pulosari. Ambil arah Pandeglang, di alun-alun Pandeglang, ambil arah ke Mandalawangi, di pertigaan Mandalawangi lurus aja, jangan belok ke kiri, nah habis itu, tanya orang sekitar deh, gua lupa wkwk.

Kita berangkat naik motor pukul 4 sore, sampe di basecamp sekitar pukul 8 malam, cukup lama karena nyasar dulu, kalo misalkan kita udah tau, kayaknya 2 jam juga sampe.

Kita packing ulang di basecamp sambil solat dan registrasi. Registrasinya berharga 15 ribu rupiah. Di basecamp ini ada beberapa saung dan warung, cuma karena kita datangnya malam, mungkin warga setempat sudah pada berkumpul dengan keluarganya di rumah masing-masing, dan hanya menyisakan petugas penjaga basecamp aja waktu itu.

Kita mulai mendaki sekitar pukul setengah 9. Inilah yang dimaksud api. Karena dendam tidak bisa mencapai puncak Ciremai, entah kenapa gua seperti terlalu bersemangat dan selalu meninggalkan teman-teman gua di belakang, rasa capek pun tidak terlalu berasa waktu itu. Trek yang dilalui dari basecamp ke pos 1 itu batu-batu kali buatan kayaknya, cukup rapi, dan tidak bikin cepet capek karena nggak dibuat seperti tangga. Di pos 1, kita nemu warung-warung yang tidak ada penghuni manusianya (yaiyalah malem, bukan weekend juga), perjalanan ke pos 1 ini cukup singkat, sekitar 30 menit.

Naik lagi ke pos 2, trek cukup menanjak dan kaki harus menaiki tangga-tangga buatan yang tidak terlalu panjang namun tetap bikin napas kuda. Oiya, di setiap pos di Pulosari ini ada warungnya lho, jadi kalo kita naik pas weekend, gak perlu khawatir kelaparan, tinggal sediakan 5 ribu rupiah di setiap posnya, kita bisa menikmati hidangan gorengan hangat nan enak.

Gua lupa ada berapa posnya, tapi di pos-pos selanjutnya itu ada air terjun yang wah banget, katanya itu namanya Curug Putri. Di curug putri itu, kita harus naik pake tali, karena lumayan licin treknya. Nah di sinilah tanggungjawab si pembawa perempuan dan kita para laki-laki, kita harus naik duluan buat narik-narikin perempuan supaya lebih mudah dan cepat.

Karena cukup kelelahan dan perempuan sudah mulai menunjukan tanda-tanda untuk berhenti, akhirnya kita berenti di trek. Malem itu nggak begitu dingin, mungkin karena emang dataran yang nggak terlalu tinggi, makanya gak terlalu dingin. Banyak juga suara binatang malam.



Lanjut, akhirnya gua tuker jadi sweeper karena temen-temen gua bete selalu gua tinggalin haha. Dan disinilah ketidakenakan dimulai. Mulai jalan jadi sweeper, nggak begitu lama, beban gua jadi agak berat, nggak seenteng waktu gua di depan. Terus juga gua malah jadi lemah, minta break mulu, gak tau sugesti atau memang benar adanya. Menurut cerita-cerita setempat, gunung Pulosari ini masih menyimpan mistis yang lumayan kuat. Maklumi, Banten. Sejak keberatan itu, gua sedikit mepet sama temen gua yang di depan gua, beberapa kali sejajar dan hampir membalap karena gua cukup parno waktu itu. Dan dia bete, akhirnya gua merangsak ke tengah hahaha.

Setelah melewati itu, akhirnya kita sampe di kawah. Gunung Pulosari ini punya kawah belerang yang masih anget, bisa buat masak telor sampe mateng, anget bukan? Sampe di kawah itu kita sekitaran pukul setengah 12 malem, lumayan capek juga. Di pos kawah ini banyak banget warung, mungkin sekitar 4, dan warung-warung itu ngasih fasilitas berupa balai yang bisa kita buat tidur kalau-kalau tenda kita bermasalah, tentunya dengan izin pemiliknya ya.

Kita diriin tenda gak jauh dari warung itu. Setelah selesai diriin tenda, kita masak-masak lucu berlaukan indo*mie rebus dengan menggunakan air dari aliran sungai kecil di samping kawah itu. Gua gak tau dah itu ada kandungan belerangnya atau nggak, yang penting masak haha.

Abis makan, kita bobo cantik. Malemnya, kedengeran gerimis mengundang datang. Suasana tenda malem itu gak sedingin Ciremai, mungkin karena emang deket kawah yang anget, dan juga sleeping bag gua gak basah seperti di Ciremai. Ini jadi pelajaran buat gua.

Paginya, sekitar pukul 4, gua bangun dan melihat keluar. Dan.... kabut lumayan tebal di luar, gua mengajak teman-teman gua untuk summit, tapi karena mereka pw, akhirnya gua pun melanjutkan tidur. Oiya, di pos kawah ini, kita ketemu temen-temennya temen gua, wkwk gak bingung kan? Mereka 3 orang lelaki perkasa yang summit duluan pada pagi harinya.

Pas udah mulai agak terang, kita masak-masak cantik berlaukan mie lagi, lalu setelah makan, kita mulai pendakian lagi menuju puncak. Oiya, trek dari kawah ke puncak punya 2 jalur, jalur vertikal dan jalur biasa. Kita ngambil yang jalur vertikal, dari namanya aja udah ketauan kan bakal kayak gimana jalurnya. Kita mulai berangkat pukul 9 pagi. Beberapa langkah mulai, kita agak bingung, mana jalan masuk ke jalur vertikalnya, soalnya itu ketutupan pohon di sekitar. Hampir setengah jam kita ngubek-ngubek sambil gerimisan dan akhirnya ketemu.



Trek awal nggak begitu naik, masih tangga-tangga unyu gitu, vegetasi masih lumayan lebat, pepohonan dan tumbuhan juga keliatan seger, keliatan jarang yang make jalur ini, soalnya pijakan kaki lumayan licin karena lumut. Di persimpangan, ada sesuatu yang menggoda kita untuk naik, itu ada tanjakan ke kanan dengan sebuah tali, di atasnya, itu tuh kayak nunjukin kalo jalannya ke situ, dan amat disayangkan, jalan itu salah, tapi gua ceritain aja ya supaya gak ada yang ke situ lagi. Jadi di situ tuh ada sebuah tanjakan, itu hampir 45 derajat celcius kemiringannya. Dan ada seutas tali, dan treknya pun kayak sering dilaluin orang. Dan naik ke situ susahnya minta ampun, licin, batu kerikil dan gede berterbangan yang maksa kita buat naik satu persatu. Udah sampe di atas, kita masuk lagi ke hutan dan gak nemu jejak lagi, fix, kita anggep ini salah jalan dan kita mutusin buat turun lagi. Pas kita mau turun, ada suara temen-temennya temen gua ini lagi turun, dan mereka dari arah berbeda, dan fix kita makin yakin kalo kita salah jalan, dan di jalan turun ini ada insiden. Karena gua orang yang cukup gak bisa diem, gua seserodotan di situ, dan menimbulkan sebuah batu sekepalan tangan jatuh dan menimpa kepala temen gua wkwk. Sampe di bawah persimpangan, kita di kasih tau jalan yang bener, dan akhirnya kita lanjut.

Trek yang bener ini berupa tangga lembab yang lumayan licin, dan lagi, gua pake sendal karena belum mampu buat beli sepatu dan keterbatasan teman untuk dipinjamin (jangan ditiru).

Naik, naik, naik, trek mulai menyempit dan mulai naik, sampe kita kadang harus make tangan buat pegangan karena bisa dengkul ketemu dada. Di situ treknya cukup rapuh, batu-batu pijakan gampang banget copot dari tanah. Sialnya, waktu itu kepisah jadi 3 kelompok, 3 temen gua di atas duluan, gua di tengah sendiri dan 2 temen gua lagi di belakang. FYI, 3 yang di atas itu terdiri dari 2 laki-laki dan 1 perempuan, gua laki-laki sendiri, di bawah laki-laki dan perempuan. Pas gua mau pegang batu seukuran bola plastik yang suka dimainin bocah dan berasa tendangannya kayak tsubasa itu, alangkah celakanya, batunya copot dan menggelinding kenceng banget, sampe ada suara ‘duk duk duk’ gitu, pokoknya gua takut banget batu itu nimpa temen gua yang di bawah dan pendaki lain. Gua manggil-manggil temen gua yang di bawah, “AWAS BATU AWAS BATU AWAS BATU”, tapi mereka gak jawab. Gua akhirnya turun lagi, cukup jauh, ada 5 menit gua turun dan nemuin mereka lagi ngos-ngosan, gua bersyukur banget mereka gak ketimpa batu bola plastik itu. Kalo sampe ketimpa, wah repot kita.



Lanjut, sampelah kita di puncak. Puncaknya nggak terlalu lebar, di pojokannya ada buat diriin 1 tenda kapasitas 4. Disayangkan, kita yang udah bawa energen, susu, kopi, kita malah nggak bawa kompor buat masak airnya. Akhirnya kita Cuma foto-foto dan sekedar santai. Di puncak ini ada kayak sumur gitu, tapi malah disalahgunain jadi tempat sampah, jadinya banyak lalet dan binatang terbang kecil-kecil yang lumayan mengganggu, di puncak juga kita kurang dapet view karena kabut yang lumayan tebel.



Setelah cukup puas, kita mutusin buat turun, kita gak mau lagi ambil jalur vertikal karena dirasa bakal lebih bahaya kalo jalan turun, karena kita adalah orang yang grasak-grusuk dan seneng lari kalo turun (jangan ditiru).

Di perjalan turun, temen kita yang pernah naik ke sini sebelumnya jadi penunjuk jalan, dan si ‘penunjuk jalan lain’ menjadi panutan kita. Kenapa gua kasih tanda kutip? Karena sepertinya ada yang coba menyesatkan kita, nggak tau Cuma sugesti atau emang beneran. Jadi ada kayak potongan daun gitu, rapih banget, kayak bekas tebasan yang emang sengaja buat nunjukin jalan, nah kita ikutin dah daun itu, turun-turun-turun sampe kita di hutan yang lumayan rapet dan gak ada lagi jalan, daunnya berenti ke semak-semak yang gak mungkin dilewatin manusia dengan tubuh rata-rata 17 tahun. Di situ kita masih mikir positif, mungkin petani, dan kita mutusin buat naek lagi dan nyari jalan lain.  Alhamdulillah ketemu. Jalan turun kita kepecah lagi jadi 3 kelompok, gua sama temen gua yang laki-laki, sisanya sama pasangannya, gua berdua duluan karena kita suka lari pas turun, lebih menyenangkan aja, dan sangat mengagetkan, temen gua melihat sesosok yang duduk dan hilang di sebuah pos bayangan, awalnya dia gak ngasih tau dia kenapa, tapi pas di kawah, dia ceritainlah. Saat turun itu juga emang hawa-hawa gak enak udah bersarang, Cuma gua tetep diem aja karena gak mau hal yang diinginkan terjadi. Sampe di kawah duluan, kita mutusin buat masak dan turun.

Ternyata, setelah sampe di kawah, temen-temennya temen gua ini gak langsung turun ke basecamp, mereka nungguin kita, sosuit banget tau gak sih ><

Karena pos kawah waktu itu udah cukup siang menjelang sore, warung-warung beberapa udah ada yang buka, dan menawarkan air minum aq*ua 1,5 liter dengan harga 10rb, yah dirasa wajar karena perjalan naik bawa air itu gak enteng, akhirnya kita beli 1 untuk perbekalan turun.

Turun, turun, turun sampe di air terjun itu, kita mutusin buat mandi sambil berenang dulu, airnya dingin dan seger banget, ada ikan-ikannya juga (kalo dikasihin). Selesai mandi dan kedinginan, kita lanjut turun lagi, perjalanan turun cukup lama karena kita mandi dulu dan sampe di basecamp itu pas gelap.



Yang bisa dievaluasi pendakian kali ini, membawa perempuan, apalagi yang belum pernah naik jadi tugas tambahan, menghargai ‘penghuni setempat’ juga harus dilakukan, mungkin kita gak sengaja mengganggu mereka.

Sampai bertemu di tulisan selanjutnya, salam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arunika Yumna Rinjani

[PMS] Perjalanan Menikahi Shabrina

Dari Ayah untuk Bapak