Ulasan novel Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini



PEREMPUAN (BOLEH) SELINGKUH

Oleh: Jimi Ahmad Firlana

Satu hal yang menarik perhatian saya pada novel ini adalah memiliki dua sudut pandang. Sudut pandang pertama ada pada Sri, yang kedua ada pada Michel. Kehebatan Nh. Dini dalam memainkan peran sebagai Sri dan Michel cukup mengagumkan. Dengan tiap katanya yang sederhana namun bisa membawa pembaca seperti ada dalam sebuah kapal yang berjalan dalam laut perselingkuhan.

Saya sebelumnya pernah mendengar novel ini dari seorang teman yang mengampu mata kuliah Pengantar Teori Sastra, ia memilih novel ini untuk dianalisis menggunakan kajian fenimisme. Memang, Sri di dalam novel ini cukup mendobrak sisi perempuan yang biasanya dianggap lemah dan hanya mampu mengandalkan lelaki, hal itu terlihat dengan antusiasnya Sri mencari pekerjaan, hingga ia ingin menjadi pramugari yang notabennya adalah pekerjaan yang sangat amat melelahkan.

Novel yang saya baca ini saya dapatkan dari perpustaan FKIP Untirta, dengan cover dasar buku berwarna abu-abu, bertuliskan Nh. Dini dengan warna hitam, lalu judul bukunya Pada Sebuah Kapal dengan warna merah dan seorang potret perempuan. Nampak jelas sekali bagaimana sisi perempuan akan dikuak dalam novel ini.

Kepiawaiann Nh. Dini menggambarkan tokoh Sri dalam novel ini bukan hanya karena ia pandai menulis, namun cerita ini juga diangkat dari kehidupannya. Menarik sekali.

Novel yang berjudul Pada Sebuah Kapal karya Nh.Dini ini menceritakan kisah perjalanan hidup seorang wanita yang bernama Sri. Kisah Perjalanan hidupnya diawali ketika Ia pulang sekolah dan mendengar kabar bahwa ayahnya meninggal. Begitu kehilangan sekali Sri akan sosok ayahnya, karena Sri lebih dekat dengan ayahnya dibandingkan dengan ibunya. Ketika ayahnya masih hidup, Sri senang menghabiskan waktunya disamping rumah untuk melukis, menanam, atau sekedar menikmati pohon dan bunga bersama ayahnya, mungkin itulah yang menyebabkan Sri lebih dekat dengan ayahnya, dan karena itu juga ia sangat amat kehilangan ketika ayahnya pergi. Berbeda dengan ibundanya yang tidak menginginkan kehadirannya karena di rasa empat anak sudah cukup sulit untuk menghidupinya, namun tidak sedikitpun Sri benci kepada ibunya.

Setelah kepergian ayahnya, Sri menjadi anak yang pendiam, ia hanya mengeluarkan kata-kata yang penting saja, namun ketika ada seseorang yang mengajaknya untuk mengikuti latihan kepanduan, dia mulai bisa berbicara, dan dia mulai bisa mengemukakan pendapat di depan sekelompok temannya. Bahkan setahun kemudian dia berani menerima tanggung jawab sebagai guru tari, menggantikan guru tari yang kadang-kadang tidak datang untuk mengajar kelas di bawahnya. “Sri masih seperti dulu, tidak banyak bersuara, bisanya hanya berbicara dengan kucing, dengan ayam atau tanamannya di kebun muka itu.” Dia mengetahui hari itu, bahwa ibunya tidak sejahat yang dipikirkannya semula. Ternyata ibunya juga mempunyai waktu untuk memperhatikan apa yang dikerjakannya dan pertumbuhan usianya. Betapa menyenangkannya diperhatikan oleh seseorang yang kita sayangi, terutama ibunda kita.

Setelah lulus dari sekolah menengah atas, Sri menjadi penyiar radio, mengingat perekonomiannya yang belum mampu untuk membawanya melanjutkan ke perguruan tinggi, ia juga merasa kalau dirinya tidak secerdas kakak-kakaknya terdahulu. Dua tahun berlalu, Sri didatangi kebosanan, ia ingin menerima gaji yang lebih besar dari gaji yang diterimanya di radio. Menginjak tahun ketiga, ia memutuskan untuk mendaftar menjadi pramugari dengan tanpa memberi tahu siapapun. Akhirnya ia mendapat panggilan untuk melanjutkan tes di Jakarta. Selama ia di Jakarta, ia tinggal di rumah pamannya. Pada saat tes itu, ia bertemu dengan Narti, temannya pada saat sekolah dasar, ia juga mengikuti tes masuk pramugari itu. Namun disayangkan, Sri tidak lulus pada tes kesehatan karena ditemukan noda pada paru-parunya, namun ia diminta untuk datang lagi jika ingin mendengar penjelasannya.

Kekecewaan Sri tidak ia ceritakan kepada siapapun. Karena ia diminta untuk kembali lagi ke Jakarta untuk penjelasan lebih lanjutnya, akhirnya ia mengundurkan diri dari tempat kerjanya. Pada hari berikutnya, Sri pergi ke dokter kenalan ayahnya di Semarang. Lalu dokter kenalan ayahnya itu memberikan alamat Dokter Martono, dokter spedialis paru-paru, dan Sri meronsen paru-parunya. Dari hasil ronsen Dokter itu berkata bahwa noda-noda yang ada pada paru-parunya akan hilang kalau Sri segera berobat dengan sungguh-sungguh. Dia menasehati untuk pindah ke kota yang sejuk dan tidak terlalu lembab. Sri memilih salatiga sebagai tempat peristirahatannya atas dasar pertimbangan-pertimbangan tertentu. Sri tidak jadi keluar dari tempat kerjanya, karena sebagai pegawai pemerintah Sri hanya akan diwajjibkan membayar sebagian dari biaya pengobatan dan penginapan peristirahatan.

Suatu hari Narti datang mengunjungi Sri dan memperkenalkan temannya bernama Mokar dan Saputro. Mereka adalah seorang penerbang. Saputro adalah seorang kapten pesawat. Selain menjadi penyiar, Sri juga mengikuti latihan-latihan seni tari tak jauh dari rumah paman tempat ia tinggal. Disana Ia berlatih tarian Jawa dan Bali. Sri lalu mendapatkan telfon dari kakaknya yang berada di Semarang mengabarkan bahwa Ibunya meninggal dunia. Sri, Sutopo, Pamannya, dan keponakan dari Ibunya langsung berangkat ke Semarang. Tiga hari berlalu merekapun kembali ke Jakarta. Sri pernah dilamar oleh seorang teman kakaknya bernama Yus. Namun Sri menolak lamarannya dengan alasan tidak ingin menikah dalam waktu dekat ini.

Sri sering diundang untuk menari di istana karena ia sungguh ahli dan menarik perhatian. Sri juga sering mengunjungi kediaman kakaknya, di sana Sri berkenalan dengan Carl, teman dari Sutopo. Saat Sri masuk ke kantornya Carl, Sri mendapatkan kartu nama bernama Charles V yang berisi nomor telfonnya, ia juga diundang untuk datang ke rumahnya.

Pada malam kesenian kongres pemuda se-Asia, Sri menampilkan tariannya pada saat itu. Tanpa disangka Saputro juga ada di sana. Ia mengucapkan pujian atas tarian Sri dan mengajaknya untuk pergi esok hari. Namun sangat amat menyedihkan ketika Sri sudah menunggu lama, Saputro tidak datang karena tugas yang mendadak dan tak bisa mengabari Sri.

Hubungan Sri denga Saputro semakin lama semakin dekat, bahkan paman, bibi, dan sepupunya mengatakan senang dengan Saputro. Menurut mereka, Saputro adalah lelaki yang baik, ramah, pintar, halus, dan sebagainya. Hal ini membuat Sri semakin tertarik kepada Saputro, ditambah lagi dengan sikap Saputro yang begitu memperhatikan Sri. Saputro sering kali menceritakan apa yang dialaminya saat tugas kepada Sri, begitu pula sebaliknya. Lalu Saputro medapatkan tugas untuk pergi ke luar negeri bersama enam orang temannya selama enam bulan.

Selama kepergian Saputro, Sri merasa sangat kesepian. Sepulangnya Saputro, ia pergi ke rumah Sri dan menginap di sana. Saputro menemani Sri yang sendirian di rumahnya karena paman, bibi, dan sepupunya pergi. Sampai pada malam itu Sri dan Saputro bercinta, hal ini membuat Sri semakin yakin dengan Saputro.

Keesokan harinya Saputro memberikan Sri sebuah bungkusan yang isinya adalah gelang emas dan cincin bermata berlian. Saputro mengatakan bahwa ini adalah mas kawin untuk pernikahan mereka. Sri dan Saputro pun hendak mempersiapkan segala sesuatunya untuk pernikahan mereka. Sri sudah memilih bahan kebaya yang akan ia kenakan nanti. Saputro memberinya sejumlah uang untuk membeli perlengkapan lain. Menyiapkan surat-surat dan Saputro mengirimi surat kepada kakak Sri mengenai rencana pernikahan mereka.

Saputro lalu melanjutkan tugasnya untuk terbang ke Malang. Tidak lama kemudian datang seorang laki-laki berseragam angkatan udara yang menyampaikan bahwa Saputro telah gugur. Sri sangat terkejut dan sedih mendengar kabar ini. Pernikahan yang sudah di depan mata sirna begitu saja ketika mendengar Saputro telah meninggal. Sri mencoba bangkit dari keterpurukannya sejak ditinggal Saputro.

Carl teman Sri mencoba untuk menghibur Sri dan membuat Sri menjadi lebih kuat. Carl yang baik dan perhatian kepadanya membuatnya nyaman berada disamping Carl. Carl lalu melamar Sri, namun Sri menolaknya.

Sepuluh bulan kemudian Sri menikah dengan Charles Vincent, pria berkebangsaan Perancis yang bekerja sebagai diplomat ini menyebabkan Sri harus ikut berpindah-pindah tempat tinggal. Sri terpaksa melepasakan kewarganegaraan Indonesianya. Sri lalu tinggal di Kobe, Jepang. Ia menganggap Charles adalah sosok yang penuh dengan kelembutan, perhatian, dan kasih sayang. Namun semua itu berubah sejak mereka menikah, Charles selalu membentak dan berkata kasar kepada Sri. Pernikahan mereka tidak lagi seharmonis dulu meskipun saat itu Sri sedang mengandung anak mereka. Pada musim dingin, anak itu lahir. Carl pernah datang sesekali mengunjungi Sri saat ia berada di Jepang. Beberapa saat kemudian Charles, Sri, dan anaknya terbang ke Saigon untuk pemberangkatan ke Perancis, Charles menggunakan pesawat terbang sedangkan Sri dan anaknya menggunakan kapal laut.

Sri merasa bebas karena berada jauh dari suaminya. Di kapal itu Sri bertemu dengan berbagai macam orang dari berbagai macam negara. Ia bertemu dengan Tuan Haller, seorang kebangsaan Jerman yang tampan, Nyonya Hench, Nyonya Beucler, dan juga para komandan kapal bernama Michel Dubanton. Tanpa disangka Sri merasa tertarik dengan Michel di kapal itu padahal saat itu ia belum mengetahui siapa namanya. Mereka hanya saling bertegur sapa saat pagi atau malam hari. Tanpa sepengetahuan siapapun, ternyata Michel juga memperhatikan sosok Sri sejak pertama kali mereka bertemu. Michel berusaha untuk mendekati Sri, namun ia merasa malu. Pada malam hari, kapal akan mengadakan pesta menyamar. Kebanyakan penumpang mempersiapkan kostum mereka untuk mengikuti lomba, begitu juga dengan Sri. Sri mengikuti pesta menyamar dan ia diminta untuk menari di acaranya selanjutnya. Seusai acara, dilanjutkan dengan dansa. Sri berdansa dengan beberapa orang sampai akhirnya ia berdansa dengan Michel. Kedekatan mereka bertambah saat mereka bertemu di salon saat kapal sedang sepi dan Michel memberanikan diri untuk memulai pembicaraan kepada Sri. Mereka mulai banyak bercerita tentang kesukaan mereka, membicarakan buku-buku bacaan mereka, dan lain-lain.

Michel lalu mengajak Sri ke kamarnya untuk mengambil buku. Michel yang merasa senang dengan sikap Sri yang halus, pandai menari, dan tidak banyak bicara membuatnya semakin mengaguminya. Michel sudah menikah dengan perempuan bernama Nicole yang lebih tua lima tahun darinya, namun sikapnya sangat tidak menyenangkan. Nicole yang cerewet, kasar, banyak memerintah, dan seperti anak-anak membuat Michel tidak lagi mencintai Nicole seperti dahulu. Meskipun mereka sudah mempunyai dua orang anak laki-laki, tidak membuat Michel mencintai Nicole. Michel sangat menginginkan anak perempuan, tetapi yang dilahirkan Nicole adalah anak laki-laki. Beberapa hari kemudian Michel mengajak Sri ke kamarnya untuk mengambil buku yang lain, lalu dikunci pintu kamarnya. Ia meletakkan kuncinya, lalu ia menatap Sri, memeluknya, dan menciumnya. Sri tidak menolak dengan sikap Michel, lalu mereka bercinta. Setibanya di Marseille, Sri merasa sedih karena harus berpisah dengan Michel dan menemui suaminya Charles.

Pertengahan musim gugur, Sri kembali ke Kobe. Walaupun begitu, Michel beberapa kali mengirimkan Sri surat, sampai pada surat ketiga, ia mengatakan akan berlabuh di Kobe. Sri lalu menemuinya secara diam-diam. Saat itu Michel menanyakan apakah Sri ingin menjadi istrinya, namun Sri hanya diam.

Hubungan Sri dan Charles semakin tidak baik. Sri semakin sering memikirkannya dan meyakinkan diri bahwa ia mencintai Michel. Michel dan Sri saling mengirimkan kartu bergambar dan tulisan berisikan kabar mereka. Sri mengabarkan bahwa ia akan pindah ke Paris. Mendengar hal itu, Michel berusaha meminta tugas darat di Paris agar bisa sering bertemu dengan Sri.

Mengingat akan perkataan Sri yang akan pindah ke paris, Michel pun mempunyai rencana untuk pindah ke darat, namun karena kecintaannya terhadap laut, dan dengan posisi Sri saat ini masih menjadi seorang istri dari Charles, dia memutuskan untuk tidak pindah pekerjaan dari laut ke darat. Selama dua hari Michel berlibur ke paris, ingat akan perkataan Sri yang rencanya pindah keparis, waktu yang sigkat Michel gunakan untuk mengenal kota kota paris, dengan harapan ketika Sri datang ke Paris Michel akan mengajaknya mengelilingi paris.

Itulah sedikit cerita tentang novel ini. Dalam novel ini, saya sangat menikmati bagaimana Nh. Dini bercerita tentang dirinya. Bahasa yang digunakan tidaklah seperti kebanyakan novel pada tahun itu yang masih terikat oleh bahasa daerah. Bahasa dalam novel ini masih layak baca hingga berpuluh-puluh tahun ke depan, kecuali Indonesia mengubah bahasanya. Bagian menarik lainnya juga ada pada sudut pandang yang sudah saya bahas diawal, sungguh sangat mengagumkan.

Novel ini juga tidak membahas cinta melulu, melainkan jika kita memperhatikannya, ada nilai-nilai sosial yang bisa kita ambil, tentu yang baik-baiknya saja. Seperti kesetiaan. Saya melihat, ketika Nh. Dini ditinggal mati oleh Saputro, ia seperti kehilangan arah dan seperti gegabah dalam melakukan pilihan, dalam memilih pendamping hidupnya. Pada akhirnya, ia menyesal telah menikah dengan Charles. Ketika ia jenuh dengan Charles, bertemulah ia dengan Michel yang semua sikap dari Charles sungguh bertolak belakang, dan kebetulan juga saat itu ia sedang jauh dari suaminya.

“Orang-orang barat kebanyakan tidak berkeberatan akan masih suci tidaknya seorang perempuan yang menarik hatinya yang akan dikawinnya.” Kutipan ini cukup menjelaskan mengapa perselingkuhan itu terjadi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arunika Yumna Rinjani

[PMS] Perjalanan Menikahi Shabrina

Dari Ayah untuk Bapak