Gunung Rogojembangan? Puncak Tertinggi Pekalongan

Pagi ini, saya sedang menganggur. Tidak melakukan apa-apa dan tidak ada yang dilakukan. Jadi, saya ingin bercerita tentang pengalaman saya mendaki sebuah gunung yang tidak familiar di kalangan para penikmat puncak gunung.

Rogojembangan. 

Secara administrasi, gunung ini berada di kawasan Banjarnegara dan Pekalongan, Jawa Tengah. Saya mendaki gunung ini pada tahun 2019. Sudah cukup lama, tapi semoga masih bisa menceritakan setiap perjalanannya secara detail.

14 Januari 2019, saya berangkat bersama kawan saya bernama Demong mengendarai sebuah motor matik dari kota bernama Tangerang. Pukul 21.00 berangkat dari Tangerang. Sampai di Gunung Ciremai pada tanggal 15 Januari 2019, kurang lebih pukul 13.00. Kenapa kok ke Gunung Ciremai? Karena sebelum ke Rogojembangan, saya ke Ciremai dulu berdua. Skip saja bagian Ciremainya, bisa diceritakan lain hari. Setelah dari Gunung Ciremai, saya menyambangi kediaman mbah kawan saya yang lain di Tegal. Kawan saya ini bernama Bayu. Dia sudah menunggu di Tegal dan akan kedatangan satu kawan saya lagi bernama Ambon.

Lalu perjalan dimulai.

Sore hari, sekitar pukul 15.00 kami berangkat dari rumah Tegal dengan mengendarai dua motor dengan empat personil. Saya dengan Demong, Bayu dengan Ambon. Mengisi beberapa liter bensin dan menuju Pantura dengan berbekal Google Maps. Beberapa kali sempat menerjang hujan, atau berteduh karena melihat melanjutkan perjalanan lebih banyak mudorotnya. Magrib tiba, sampailah kami di sekitaran Kajen. Kami beristirahat sambil merencanakan langkah selanjutnya sebelum kembali berjalan.

Kami memulai perjalanan kembali setelah menanyakan petunjuk kepada beberapa warga yang ramah. Sampailah kami pada sebuah jalan pedesaan yang cukup familiar dengan kondisi sekitar yang cukup dingin menusuk dada, padahal sudah mengenakan dua buah jaket. Ternyata kami sudah sampai di Banjarnegara. Waktu sekitar sudah menunjukkan pukul 22.00.

Dengan keadaan yang kedinginan dan kesepian, kami mencoba menanyakan ke mana arah yang harus kami tuju untuk mencapai basecamp Gunung Rogojembangan. Setelah diberikan petunjuk, kami melanjutkan perjalanan yang sepi, gelap, dan melalui banyak tanjakkan.

Sampailah kami pada sebuah desa yang tidak ingat apa namanya, dengan kondisi yang cukup memprihatikan. Badan kedinginan efek beberapa kali kehujanan, motor yang sudah mulai malas melewati tanjakkan, dan kegelapan malam yang terus menyelimuti. Lalu berhentilah kami pada sebuah masjid yang berada di desa itu. Keadaan sangat sepi dan tidak ada penduduk yang berada di luar rumah. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya kami memutuskan menginap di masjid itu. Kami tidak sempat izin kepada penduduk untuk menginap, karena tidak ada siapapun yang dapat kami temui. Ingin mengetuk salah satu pintu pun merasa tidak sopan. Akhirnya kami menginap dengan memegang tanggung jawab untuk menjaga apa pun yang ada di dalam masjid, termasuk barang bawaan kami. Karena menginap tanpa izin, kami hanya memanfaatkan beberapa ubin saja untuk kami tidur, tidak berani menggunakan banyak sajadah untuk alas tidur kami, bahkan saya tidur di atas ubin dengan berselimutkan sarung yang saya bawa dari rumah.

Malam itu terasa sangat dingin. Memang, ada rasa senang karena bertemu dengan udara sejuk pedesaan, namun dinginnya cukup menusuk sampai beberapa kali terbangun karena sulit tidur dalam keadaan kaki yang menyentuh ubin secara langsung ditambah hujan deras di luar.

Subuh pun tiba. Ternyata kami dicurigai oleh penduduk desa yang hendak melakukan sembahyang. Kami mewajari itu, karena memang menginap tanpa izin. Dengan santun kami menjelaskan maksud kami yang berada di masjid itu. Senangnya mendapat penerimaan dari warga yang tadinya curiga, berubah menjadi senyum ramah khas mereka karena kedatangan orang tidak dikenal dengan mengenangan tas yang besar. Akhirnya kami semua melaksanakan Salat Subuh berjamaan dengan beberapa warga. Beberapa waktu setelah salat, kami masih di dalam masjid, menghindari udara dingin semalam dan embun bekas hujan semalam.

Seorang bapak yang membangunkan kami, mencurigai kami, dan mengajak kami sembahyang masuk dengan membawa teko berisi teh tawar hangat dan beberapa gelas. Kami merasa tidak layak untuk mendapatkan hal tersebut, terlebih kami bukan siapa-siapa dan tidak izin. Namun, keramahan harus dibalas dengan keramahan. Teh hangat tadi sudah menjadi gelas-gelas kosong.

Kami melanjutkan perjalanan dengan beberapa informasi dari penduduk sekitar. Beberapa orang menyayangkan, kenapa kami harus melewati jalur ini, karena jalur yang akan dilewati adalah jalur yang tidak mudah. Jalur yang akan kami lewati adalah jalur mereka berkebun dengan jalan yang aduhailalalai.

Setelah berpamitan dengan orang-orang baik ini, kami kembali memutar roda kami.

Tidak jauh setelah kami berjalan, muncullah sebuah tanjakkan yang tidak tanggung-tanggung menghajar kami. Tidak melihat kalau kami baru saja memulai kembali perjalanan. Memaksa penumpang turun dan ikut mendorong motor untuk sampai pada ujung tanjakkan dengan jalur berliku dan berbatu. Jauh dari kata mulus.

Beberapa jam jalur itu kami lewati dengan roda kami. Tanjakkan, turun, dorong, naik. Terus berulang selama berbelas atau mungkin berpuluh kali. Sampai pada akhirnya kami tau. Kami berada di kawasan yang bernama Kalibening.

Dengan berbagai kesulitan, sampailah kami ke sebuah rumah perangkat desa bernama Pak Supari, akrab dipanggil Pak Pari. Beliaulah yang bertanggungjawab atas naik dan turunnya pendaki yang hendak mengunjungi Gunung Rogojembangan.

Setelah beberapa pertimbangan dan ditambah masukkan dari Pak Pari, kami menunda untuk mendaki hari itu juga. Selain cuaca yang tidak mendukung-hujan sepanjang hari-Pak Pari juga tidak menyarankan kami untuk mendirikan tenda atau melakukan kemping di sepanjang jalur pendakian Gunung Rogojembangan. Tidak ingin tersesat dan kembali memasuki kesulitan seperti ketika kami ingin sampai pada kediaman Pak Pari, akhirnya kami menurut saja dengan arahan beliau.

Sedikit tentang Pak Pari. Beliau adalah seorang perangkat desa, petani, dan seorang penjaga untuk pendakian Gunung Rogojembangan jalur Petungkriyono. Beliau sangat baik sekali kepada kami. Pertemuan kami berawal dari sebuah warung yang juga menjual bensin eceran. Kami sedang mengisi bahan bakar, lalu datang seorang bapak-bapak. Beliau menanyakan tujuan kami karena melihat tas-tas besar yang kami bawa. Setelah bercengkrama di warung itu, dibawalah kami ke sebuah kediaman sederhana. Itulah Pak Pari.

Kami akhirnya menginap di rumah Pak Pari. Kami diberikan kebebasan untuk minum, masak, atau sekadar mengobrol. Kami juga banyak mendengarkan cerita Pak Pari, dari cerita tentang kehidupannya, gunung ini, sampai pada cerita tak masuk akal yang dimiliki oleh setiap gunung.

Beliau bercerita tentang banyaknya kejanggalan yang terjadi. Kejanggalan itu dialami oleh pendaki yang bercerita kepada Pak Pari. Beliau bercerita, jika ada satu rombongan dengan 10 orang anggota, minimal akan ada lima orang yang akan mendengar suara gamelan saat naik atau turun Gunung Rogojembangan. Awalnya, saya sempat tidak percaya, sampai teman pendakian saya bercerita sendiri.

Setelah semalam kami beristirahat di rumah Pak Pari. Menikmati suasana desa yang sejuk, sepi, dan damai, paginya kami berangkat menuju puncak Gunung Rogojembangan. Kami meninggalkan perlengkapan lengkap pendakian kami di rumah Pak Pari. Kami berangkat seperti pendaki yang hendak summit. Hanya tas kecil, makanan ringan, dan apa yang menempel di badan. Hal itu sudah kami pertimbangankan setelah kami berbincang dengan Pak Pari pada malam harinya. Beliau memberitahukan mengenai bagaimana jalurnya, berapa lama estimasi perjalanan, sampai patokan-patokan yang bisa kami jadikan petunjuk saat dalam perjalanan.

Kami berangkat pagi hari setelah sarapan. Berangkat cukup siang jika kami adalah petani di desa itu. Sekitar pukul tujuh pagi, kami berdoa bersama dan pamit kepada Pak Pari.

Jalur awal yang kami lewati adalah perkebunan warga sekitar. Tanaman kol, bawang daun, sawi, atau wortel di kanan dan kiri kami. Udaranya sungguh sejuk. Walaupun pagi itu sedikit gerimis, namun kami tetap melanjutkan perjalanan berbekal jas hujan plastik murah dan berharap gerimis akan reda di ujung kebun ini.

Tidak lama, masuklah kami ke dalam hutan yang terlihat sangat jarang dijamah oleh pendaki-pendaki, tidak seperti gunung kebanyakan yang menjadi favorit pendaki. Hutan yang lebat dengan suara khas tonggeret yang bernyanyi bergantian sepanjang perjalanan kami.

Satu rekan mengalami kendala fisik. Mungkin karena perbedaan iklim yang ada di desa. Cuaca yang berubah dari kota ke desa dan ke hutan kadang mengakibatkan tubuh kita perlu waktu untuk menyesuaikan diri. Dalam perjalanan, satu rekan meminta untuk tidak melanjutkan perjalanan. Namun, kami tetap support untuk melanjutkan perjalanan sampai puncak dan turun lagi.


Pos demi pos kami lewati. Posnya pun tidak seperti pos pada gunung kebanyakan. Terkadang hanya plang kecil dengan keterangan bahwa ini pos, kadang spanduk yang sudah usang, atau lahan yang tidak cukup lebar yang kami jadikan tempat untuk istirahat.

Kami melewati tempat yang cukup asing. Tempat itu kami ketahui setelah mengingat cerita Pak Pari tentang babi atau celeng. Tempat itu seperti gundukan ilalang atau pohon dan tengahnya memiliki bolongan yang cukup besar hingga dapat kami lewati. Tidak hanya itu, kondisi pencahayaan di tempat itupun minim, sehingga membuat suasana cukup mencekam, membuat kami hening selama melewati tempat itu.

Perjalanan kami berlanjut. Kami akhirnya membenarkan perkataan Pak Pari untuk tidak mendaki membawa carrier. Karena jalur yang kami lewati terkadang hanya cukup kami untuk badan kami saja. Sulit dibayangkan jika membawa tas besar itu. Jalur yang sempit dan cukup rapat ditutupi oleh tumbuhan dan pepohonan.

Tibalah kami pada sebuah lembah dengan banyak pohon tumbang yang harus kami lewati. Lalu ditemukanlah sebuah air kemasan yang masih tersegel dan terlihat sangat segar di salah satu pohon tumbang. Kejadian yang cukup aneh untuk kami. Sebuah air minum kemasan ada di sebuah pohon tumbang dan masih tersegel. Berbarengan dengan kondisi kami yang saat itu kekurangan air karena kurangnya manajemen air. Air itu ditemukan pada tempat yang dapat dengan mudah terlihat oleh mata. Jika air itu tertinggal oleh pendaki sebelumnya, saya rasa itu mungkin masih masuk akal, namun kemungkinannya kecil. Karena pendaki pasti akan menghemat airnya saat naik. Jika tertinggal saat naik, pasti akan ditemukan saat turun, karena mudah terlihat itu tadi. Tapi jika tertinggal saat turun, saya rasa hal itu kecil kemungkinannya. Karena saat turun, pendaki akan menggunakan air yang mereka miliki. Apalagi saat turun kita sudah bisa mengira-ngira perjalanan akan seperti apa dan memakan waktu berapa lama. Tapi, air itu masih tersegel.

Kami membawa dan simpan air itu untuk berjaga-jaga dalam perjalanan kami.

Sampailah kami pada sebuah jalan yang sangat sulit dilewati. Jalur yang sempit dan memaksa kami harus merangkak untuk dapat melewati sebuah lubang yang ditutupi oleh tumbuhan. Setelah melewati itu, sampailah kami pada jalur yang kanan kirinya ditumbuhi oleh kantong semar yang cukup banyak. Mungkin sudah kita ketahui, tempat atau hutan yang masih ditumbuhi oleh kantong semar berarti hutan itu masih cukup terawat dan mempunyai ekosistem yang cukup baik.

Tidak jauh dari ladang kantong semar, sampailah kami di puncak Gunung Rogojembangan. Puncak yang saat itu penuh kabut dan ada sebuah gundukan dengan bentuk seperti kuburan atau petilasan. Entah itu apa, saya lupa jawaban dari Pak Pari. Beliau sempet menjelaskan saat kami sudah di rumahnya lagi, tapi saya lupa. Di sana kami berpeluk dan berjabat tangan. Bangga karena berhasil mencapai puncak gunung ini. Gunung yang tidak seterkenal gunung lain, namun jalur yang sangat menantang dan tidak mudah. Entahlah, ada perasaan bangga saja.



Setelah cukup menikmat puncak, kami memutuskan untuk turun. Perjalanan turun ternyata tidak lebih mudah dari perjalanan naik. Kondisi hutan yang basah dan lembap memaksa kami untuk setoran jatuh dan terpeleset di beberapa tempat. Sampailah kami pada lembah di mana kami menemukan air kemasan tersegel tadi. Kebetulan persediaan air yang kami bawa dari rumah Pak Pari sudah habis, kami bergantian menenggak air kemasan itu. Tidak ada sesuatu yang aneh terjadi pada saya sampai perjalanan turun dan sampai rumah Pak Pari lagi.

Kami meneruskan perjalanan dengan berbekal lapar di perut. Berharap segera sampai pemukiman untuk menikmati mi rebus dengan telur yang rasanya nikmat.

Keluarlah kami dari hutan Gunung Rogojembangan dan disambut perkebunan lebar yang kami lewati saat berangkat. Rintik hujan ternyata masih turun berbarengan saat kami turun. Namun, rintiknya tidak membasahkan kami. Kami melewati pematang kebun dengan suka riang sampai akhirnya Bayu, rekan pendakian saat itu bertanya, "Lu ada yang denger suara gamelan gak pas turun tadi?". Ternyata apa yang dikatakan Pak Pari benar adanya. Percaya atau tidak. Kami naik berempat, dua dari kami mendengar. Saya kebagian jadi yang tidak mendengar.

Tidak mau memikirkan aneh-aneh, kami bersepakat bahwa itu adalah sebuah salam kedatangan dan perpisahan dari Gunung Rogojembangan.

Sampailah kami di rumah Pak Pari dengan perasaan senang dan banyak pertanyaan yang mungkin dapat kami tukar dengan jawaban dari Pak Pari. Berceritalah kami di rumah Pak Pari sampai tengah hari dengan jawaban-jawaban yang masih juga menimbulkan pertanyaan.

Gunung Rogojembangan adalah perjalanan yang tidak semua orang memiliki kesempatan untuk melakukannya. Mungkin banyak yang tidak tertarik, tapi setelah melakukannya, kesan yang ditinggalkan cukup dalam. Tentang ramahnya warga, tentang terbukanya tuan rumah, jalur sempit, dan sebuah semangat untuk tetap berempat, tanpa ada yang tertinggal atau terbawa sampai rumah.

Yaudah gitu aja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arunika Yumna Rinjani

[PMS] Perjalanan Menikahi Shabrina

Dari Ayah untuk Bapak